Jumat, 29 April 2016

Kain Tenun

Tenun merupakan teknik dalam pembuatan kain yang dibuat dengan prinsip yang sederhana, yaitu dengan menggabungkan benang secara memanjang dan melintang. Dengan kata lain bersilangnya antara benang lusi dan pakan secara bergantian. Kain tenun biasanya terbuat dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya.
Pembuatan kain tenun ini umum dilakukan di Indonesia, terutama di daerah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Biasanya produksi kain tenun dibuat dalam skala rumah tangga. Beberapa daerah yang terkenal dengan produksi kain tenunnya adalah Sumatera Barat, Palembang, dan Jawa Barat.
Seni tenun berkaitan erat dengan sistem pengetahuan, budaya, kepercayaan, lingkungan alam, dan sistem organisasi sosial dalam masyarakat. Karena kultur sosial dalam masyarakat beragam, maka seni tenun pada masing-masing daerah memiliki perbedaan. Oleh sebab itu, seni tenun dalam masyarakat selalu bersifat partikular atau memiliki ciri khas, dan merupakan bagian dari representasi budaya masyarakat tersebut. Kualitas tenunan biasanya dilihat dari mutu bahan, keindahan tata warna, motif, dan ragi hiasannya.

Kain Tenun Songket

Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu dan Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai. Istilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’. Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu. Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket. Beberapa kain songket tradisional Sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga dinamai dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan penganan kegemaran raja.
Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani, dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu sekitar tahun 1500-an. Industri kecil rumahan tenun songket kini masih bertahan di pinggiran Kota Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu,[butuh rujukan] justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11).
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di Sumatera Selatan dan di pedalaman dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai asal usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli.
Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1849.
Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau. Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lain.
Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Pada masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung.
Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat. Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.
Di Indonesia, pusat kerajinan tangan tenun songket dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di pulau Sumatera pusat kerajinan songket yang termahsyur dan unggul adalah di daerah Pandai Sikek dan Silungkang, Minangkabau, Sumatera Barat, serta di Palembang, Sumatera Selatan. Di Bali, desa pengrajin tenun songket dapat ditemukan di kabupaten Klungkung, khususnya di desa Sidemen dan Gelgel. Sementara di Lombok, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga terkenal akan kerajinan songketnya. Di luar Indonesia, kawasan pengrajin songket didapati di Malaysia; antara lain di pesisir timur Semenanjung Malaya khususnya industri rumahan di pinggiran Kota Bahru, Kelantan dan Terengganu; serta di Brunei.

Tenun Ikat

Tenun ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami. Alat tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin. Kain ikat dapat dijahit untuk dijadikan pakaian dan perlengkapan busana, kain pelapis mebel, atau penghias interior rumah.
Sebelum ditenun, helai-helai benang dibungkus (diikat) dengan tali plastik sesuai dengan corak atau pola hias yang diingini. Ketika dicelup, bagian benang yang diikat dengan tali plastik tidak akan terwarnai. Tenun ikat ganda dibuat dari menenun benang pakan dan benang lungsin yang keduanya sudah diberi motif melalui teknik pengikatan sebelum dicelup ke dalam pewarna.
Teknik tenun ikat terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia yang terkenal dengan kain ikat di antaranya: Toraja, Sintang, Jepara, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor. Kain gringsing dari Tenganan, Karangasem, Bali adalah satu-satunya kain di Indonesia yang dibuat dari teknik tenun ikat ganda (dobel ikat).
Kain ikat dapat dibedakan dari kain songket berdasarkan jenis benang. Songket umumnya memakai benang emas atau perak. Motif kain songket hanya terlihat pada salah satu sisi kain, sedangkan motif kain ikat terlihat pada kedua sisi kain.

Jenis
    Tenun Ikat NTT, dari Timor
    Tenun Ikat Troso, dari Jepara
    Tenun Ikat Lombok, dari Lombok
    Tenun Ikat Sumbawa, dari Sumbawa

Jumat, 22 April 2016

SARUNG TENUN GOYOR

Jenis kain ini tentu sudah lekat dengan masyarakat di Indonesia.Kain panjang yang dijahit sisi-sinya sehingga membentuk tabung ini digunakan sebagai penutup bagian perut sampai mata kaki,dengan dililitkan.Sarung bisa digunakan laki maupun perempuan untuk kepentingan adat maupun keseharian. Pembuatan kain sarung biasanya menggunakan mesin maupun alat tenun bukan mesin (ATBM).Sarung Goyor adalah salah satu kain sarung yang dibuat menggunakan alat tenun bukan mesin.

Mengapa disebut Sarung Goyor?. Goyor dalam bahasa Jawa artinya lembek karena jika digunakan kainnya jatuh,lembek tidak kaku makanya disebut Sarung Goyor. Adapula yang menyebut kain Pyur artinya pun sama. Jenis kain  yang adem ini jika tentu cocok untuk masyarakat Indonesia yang berada di kawasan tropis yang  bersuhu panas. Tegal adalah salah satu daerah yang masih memproduksi jenis kain ini.Pemasaran kain ini sudah mencapai daerah Gresik,Surabaya,Jakarta dan Jogja bahkan sudah di export ke Afrika dan Arab Saudi.

Proses pembuatan kain sarung goyor yang membutuhkan waktu yang panjang  membuat hasil produksinya terbatas, namun tetap diminati karena keunikan motifnya dan jenis kain yang nyaman dipakai.Ada sekitar 18 langkah untuk membuat kain ini sampai ke konsumen waktu yang dibutuhkan sekitar 2 minggu.Emm…cukup panjang bukan?!Tapi ada hal yang perlu menjadi catatan bahwa dengan panjangnya proses pembuatan kain ini disadari bahwa kain ini telah membuka luas lapangan pekerjaan bagi 18 orang yang terlibat dalam 18 proses pembuatan sarung.Sarung goyor ini telah diproduksi secara turun temurun oleh penduduk Tegal kususnya  keturunan etnis Arab.

Dilihat dari jenis motifnya sarung dibagi menjadi 2 yaitu:

1.    Motif Botolan/Timuran

2.    Motif Balian/Tegalan

1.    MOTIF BOTOLAN/TIMURAN

Jenis motif ini kecil-kecil dan relative lebih rumit dari pada motif Balian.Proses pembuatnnya pun lebih lama dan harganya lebih mahal.

2. MOTIF BALIAN/TEGALAN

Motifnya lebih besar dari pada jenis botolan. Pengerjaanya tentu lebih mudah  begitupun proses pembuatannya lebih singkat.Karena itu harganya lebih murah daripada yang bermotif Botolan.

Umumnya sarung goyor mempunyai warna-warna gelap hanya pengrajin tertentu saja yang berani memilih warna terang. Warna dasar kainlah yang akan menentukan warna sarung ini menjadi warna gelap atau cerah.

Kain sarung ini berukuran 125 x 120 m,tentu saja ukuran kain ini bukanlah ukuran asli saat penunan.Karena itu sarung ini perlu sambungan untuk menghasilkan 1 kain sarung. Lebar hasil penenunan adalah 60 cm.

Untuk menghasilkan kain yang jatuh tentu membutuhkan benang kusus.Dahulu Indonesia belum mampu memproduksinya namun sekarang Indonesia telah mampu memproduksinya.

Proses  pembuatan diawali  dengan pemilihan jenis benang .Benang yang telah dipilih akan dicelup warna putih terlebih dahulu.Ini dimaksudkan agar dalam pewarnaan berikutnya akan mendapat warna yang benar-banar sempurna karena warna asli benang adalah putih tulang. Setelah proses penjemuran benang. Benang yang sudah berwarna putih diketeng atau digulung dengan alat yang disebut bomb.Selanjutnya akan di pilah mana  benang yang akan dibuat dasar dan mana benang yang akan dibuat motif. Benang yang akan dijadikan motif akan diproses lebih panjang dari pada benang yang akan di jadikan dasar.Seperti dikemukakan diatas bahwa warna kain  tergantung pada pemilihan warna dasar apakah berwarna cerah atau gelap.

Benang yang akan dijadikan motif dibentangkan pada  kayu berbentuk segi empat ukutan 1x1m proses ini disebut dibaki .Benang ditalikan ujung ke ujung yang nantinya akan digambar seperti motif yang diinginkan.Kemudian benang ditalen atau ditali dengan tali raffia.Pengikatan tali-tali ini berdasarkan gambar yang telah di bubuhkan pada kain,inilah yang akan di warnai.

Setiap ikatan tentu mempunyai warna yang berbeda-beda.Selesai ditalen benang akan dibawa untuk proses pencelupan pertama(dibres) tapi sebelumnya benang harus dilepas dari baki. Pencelupan warna untuk motif akan dilakuakan berulang kali sesuai dengan banyak warna yang dibutuhkan dalam pemberian motif.Setelah pewarnaan ada proses pengeringan. Pastikan bahwa benang-benang ini benar-benar kering karena akan dicolet inilah pemberian warna terakhir untuk benang. Benang dibongkar dari ikatan-ikatan yang nantinya akan di palet(digulung).Nah  benang motif ini siap untuk ditenun bersama benang-benang warna dasar  menjadi kain sarung.

Seorang pengrajin bisa membuat 1-1,5 kain sarung. Satu kain sarung membutuhkan kain sepanjang 125×120 cm. Proses terakhir adalah penjahitan ,pencucian dan pengepakan kain sarung.Kain sarung goyor sebelum di kemas memang terlebih dahulu dicuci ini untuk mendapatkan kesan “goyor” pada kain.Well  sarung Goyor siap untuk dipasarkan dan anda kenakan untuk beribadah atau bersantai.

Produk Kain Tenun Misris

Selain memproduksi kain tenun sutra, kain dengan bahan katun alias kapas namun dengan proses tertentu sehingga menghasilkan kain katun yang sangat lembut dan mengkilat layaknya sutra. Proses itu disebut dengan Mercerized atau yang umum disebut dengan misris.

Mercerized atau Merserisasi atau kata orang Jawa misris adalah perawatan khusus untuk kain kapas. Permukaan Mercerized Cotton lebih halus dan lebih bersinar daripada permukaan kapas reguler. Benang Mercerized tetap mengkilat melalui pencucian dan memberikan tampilan yang bagus dan lebih indah untuk barang jadi.

Oleh karena kain tenun ini berbahan katun maka tentu berpengaruh pada harga yang tentunya lebih low value alias murah daripada kain tenun yang berbahan sutra. Namun, sekali lagi sarung Mercerized murah harganya tetapi bukan produk murahan.

Sejarah Balai Besar Tekstil Indonesia


Ada puluhan bahkan ratusan jenis pakaian tradisional yang ada di indonesia. Sebut saja baju Ulee Balang khas Aceh, baju Karo khas Batak, baju Kurung yang menjadi pakaian tradisional sebagaian besar masyarakat dataran Sumetera, baju Aisan Gede masyarakat Bangka Belitung, baju Ta’a dan Sapei Sapaq khas Suku Dayak, baju Bodo ala Sulawesi, baju Kebaya khas Jawa yang juga menjadi busana nasional Indonesia dan masih banyak lagi baju-baju khas atau baju adat.

Mesin Pemintal Benang

Beragamnya kekayaan budaya dan kesenian Nusantara termasuk kekayaan tekstil khas Nusantara tidak serta merta ada begitu saja. Tekstil di Indonesia memiliki cerita dan sejarah yang panjang dimulai dari berabad-abad lalu di masa kejayaan kerajaan Nusantara hingga masuknya era industri tekstil di abad ke-19 tepatnya sekitar tahun 1920-an.
Atas prakarsa Ir. Surachman dan Prof. Dr. Bernard serta bantuan Bupati Bandung, Wiranatakusumah didirikanlah Textil Instituut en Batik Proefstation (TIB) dan bergabung dalam lingkungan Departemen Landbouw Nijverheid en Handel(L.N.& H.). Pendirian TIB bermaksud untuk memberikan penerangan-penerangan atau advies-advies kepada industri tekstil terutama kepada pertenunan rakyat.
TIB juga diberi tugas untuk pengujian dan penyelidikan, seperti pengujian bahan-bahan untuk tekstil, misalnya benang, tjap dan obat-obatan, pengujian alat-alat tenun dan lain-lain. Selain itu tugas pengembangan dan menganjurkan perbaikan-perbaikan dalam cara-cara kerja dan alat, mengadakan pendidikan dan latihan-latihan untuk pekerja tekstil maupun ahli-ahli tekstil.


Alat Tenun Mesin karya BBT

Pada tahun 1929, industri tekstil mulai berkembang dengan dimulai dari industri rumahan dengan sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting) menggunakan alat Textile Inrichting Bandung Gethouw atau lebih populer dengan sebutan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Dalenrood. Produk-produk ATBM antara lain berupa tekstil tradisional berupa sarung, kain lurik, stagen, dan selendang. Era ATBM kemudian bergeser ke era ATM ( Alat Tenun Mesin ) setelah alat baru ini ditemukan di Majalaya, Jawa Barat pada tahun 1939. Pada masa itu Majalaya telah mendapat pasokan listrik sejak tahun 1935 sehingga memungkinkan untuk mengembangkan teknologi ATBM menjadi teknologi yang lebih modern yakni ATM. Sejak saat itu industri tekstil Indonesia memasuki era teknologi dengan menggunakan Alat Tenun Mesin hingga saat ini, dengan berbagai perkembangannya yang lebih mutakhir.


Mesin Tenun Modern

Dengan berdirinya TIB seperti gayung bersambut, membuat industri tekstil berkembang pesat. Pendidikan yang diberikan TIB semula hanya bersifat practical training diperluas dengan dibukanya Kursus Tekstil Rendah pada tahun 1933. Kursus dengan tujuan membentuk kader-kader tekstil yang terdidik dan mampu memimpin perusahaan tekstil kecil diikuti oleh peserta dari daerah hampir diseluruh Indonesia, seperti Majalaya, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cirebon, Pekalongan, Jogyakarta, Solo, Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, Bangil, Pasuruan, Gresik, Padang, Palembang, Medan, Makasar, Pare-pare, Bali, Lombok, Samarinda dan lain-lain.


Mesin Tenun Serat Alam

Pada tahun 1935 dibukalah kursus yang lebih tinggi tingkatannya dengan nama Bedrijfsleider Cursus,dengan tujuan untuk membentuk tenaga-tenaga Ahli Tekstil yang mampu memimpin perusahaan tekstil sedang maupun besar. Demikian kemudian terjadi konsentrasi-konsentrasi didaerah dengan perkembangan tekstil khas masing-masing.
Perkembangan Balai Besar Tekstil

Alat Tenun Bukan Mesin

Pada waktu didirikan hingga tahun 1934 Textil Instituut en Batik Proefstation (TIB) dipimpin oleh Dalenoord, yang mempopulerkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) hingga industri tekstil Indonesia mengalami kemajuan pesat. Pada tahun 1934-1937 TIB dipimpin oleh Janzen, tahun 1937-1942 dipimpin oleh J.Eshuis.
Saat kependudukan Jepang, TIB dipimpin oleh Niwa dan nama TIB dirubah menjadi “Orimono Sikendjo” atau Balai Penerangan Pertenunan dan Pembatikan. Niwa banyak mengadakan percobaan penanaman berbagai macam serat yang ada di Indonesia sampai pada usaha pemintalan dan pertenunannya dengan alat dari kayu.
Dengan berakhirnya perang dunia ke II, pimpinan Balai diserahkan kepada R.Soemitro.


Mesin Pemintal Benang Sutera

Beberapa bulan memimpin, R.Soemitro terpaksa harus mengungsi karena serangan tentara kolonial Belanda ke Bandung. Pengungsian semula ke Cidurian-Bandung Timur (rumah R.Soemitro) kemudian ke Majalaya dan akhirnya ke Ciamis. Dalam waktu yang bersamaan dengan mengungsinya R.Soemitro, Belanda mengaktifkan Balai yang ada di Bandung dibawah pimpinan J.Eshuis hingga tahun 1950. Pemimpin Balai selanjutnya diteruskan oleh Aburisman sampai tahun 1953 dan pada tahun 1953-1954 pimpinan Balai dipegang oleh E.Royat.

Pada tahun 1954-1961 Balai dipimpin oleh Ir.R.Safioen dan karena Beliau diangkat menjadi Kepala Jawatan Balai-Balai (sekarang PNPR Nupiksa Yasa), maka pimpinan Balai diserahkan kepada Ir.Soegito Moeljowijadi. Dengan mengalami banyak perubahan dan pergantian pimpinan Balai telah banyak pula mengalami perubahan dan kemajuan, baik mengenai organisasi maupun mengenai penambahan mesin pemintal, mesin tenun, mesin rajut dan alat perlengkapan laboratorium, perluasan bangunan, penambahan tenaga kerja dan lain-lain. Kurun waktu 1953 nama Balai Penerangan Pertenunan berubah nama menjadi Balai Penyelidikan Tekstil.


Contoh Hasil Tenunan Serat Alam

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.192 tahun 1961, tanggal 12 Mei 1961 tentang perubahan status Balai Penyelidikan Tekstil menjadi Perusahaan Negara dengan nama Balai Penelitian Tekstil. Pada tahun 1966 dibawah pimpinan Ir Sutardjo didirikan Institut Teknologi Tekstil (ITT) yang dipimpin oleh KPH. Soerjo Soejarwo dan tahun 1979 saat Balai dipimpin oleh Wibowo mengalami perubahan struktur dan pemisahan kelembagaan menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil (BBPPIT) dan Sekolah Tinggi Tekstil (STT) dipimpin oleh Moerdoko, S.Teks.


Mesin Tenun Kain

Sebagai lembaga yang memajukan industri tekstil di Indonesia, khususnya Kota Bandung pada tahun 2002 BBPPIT yang bernaung dibawah Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan (BPPIP), Departemen Perindustrian dan Perdagangan kembali mengalami perubahan nama dan struktur menjadi Balai Besar Tekstil (BBT) dan sejak tahun 2005 dibawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI), Departemen Perindustrian.


Mesin Gulung Benang

Dalam rangka menguatkan kompetensi melalui inovasi teknologi yang produktif, mandiri dan profesional, pada tahun 2010 BBT bernaung dibawah Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI), kementrian Perindustrian, dengan memperoleh sertifikat ISO 9001:2008 dari SAI GLOBAL Certified System, dengan nomor Sertifikat QEC29547.
Aktifitas Balai Besar Tekstil

Gedung Laboratorium Pengujian

Sebagai lembaga litbang yang unggul dan terpercaya dengan reputasi internasional dalam bidang tekstil, Balai Besar Tekstil (BBT) memiliki 8 jasa layanan teknis dibidang tekstil dan produk tekstil, yakni Penelitian dan Pengembangan; Pengujian Tekstil dan Produk Tekstil; Kalibrasi Peralatan Uji; Standardisasi; Sertifikasi; Konsultasi; Pelatihan Teknis; Rancang Bangun dan Rekayasa.
Adapun yang berkenaan dalam memberikan pelayanan jasa teknis yang berkualitas kepada industri, BBT juga memiliki fasilitas laboratorium dengan gedung tersendiri masih dilingkungan BBT.


Pengujian Fisika pada Tekstil

Diantara layanan laboratorium adalah Laboratorium Pemintalan, Laboratorium Pertenunan, Laboratorium Perajutan, Laboratorium Garmen, Laboratorium Desain, Laboratorium Pencelupan, Pencapan dan Penyempurnaan, Laboratorium Polimer, Laboratorium Pengujian, Laboratorium Kalibrasi, Laboratorium Linkungan, Laboratorium Komputer. Disamping itu BBT juga memiliki ruang Workshop Rancang Bangun Mesin Tekstil prototip skala kecil dan menengah, juga ruang Product Development & Desaign Center yang baru diresmikan oleh Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementrian Perindustrian, Arryanto Sagala, 24 Maret 2014.


Perpustakaan Balai Besar Tekstil

Dukungan Ruang Perpustakaan BBT sangatlah membantu bagi pengusaha, mahasiswa ataupun tenaga ahli tekstil dalam mencari literatur tentang tekstil. Karena koleksi buku yang berjumlah lebih dari 13.000 buah berisikan tentang teknologi, ensiklopedia, majalah, jurnal, dan laporan penelitian dari Balai Besar Tekstil.

Penjelasan Tentang Sarung

Sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).

Kain sarung dibuat dari bermacam-macam bahan: katun, poliester, atau sutera. Penggunaan sarung sangat luas, untuk santai di rumah hingga pada penggunaan resmi seperti ibadah atau upacara perkawinan. Pada umumnya penggunaan kain sarung pada acara resmi terkait sebagai pelengkap baju daerah tertentu.

Motif kain sarung yang umum adalah garis-garis yang saling melintang. Namun, sarung untuk pakaian daerah dapat pula dibuat dari bahan tenun ikat, songket, serta tapis.